Selasa, 31 Oktober 2017

Admissions dan Discharge Di Rumah Sakit


I. TEORI
Tata cara dan pengaturan pasien rawat inap (admissions) dan prosedur pasien pulang (discharge sangat penting dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan pasien pada semua sektor pelayanan di rumah sakit. Kerjasama sangat dibutuhkan untuk memastikan pelayanan kesehatan yang diberikan itu telah direncanakan, diatur dan diberikan sesuai dengan pendekatan berbasis pasien (patient centered) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan memberikan rasa berkeadilan.

Perubahan pola pelayanan kesehatan yang berbasis pasien ini menuntuk rumah sakit untuk bersungguh-sungguh memperhatikan pasien bahkan sebelum pasien tersebut dirawat. Saat ini, keputusan perawatan pasien itu bukan diatur oleh pemerintah dan perusahaan asuransi, tetapi oleh pasien dan dokter mereka sendiri.
Berdasarkan buku tentang Admissions and Discharge Guidelines Health Strategy Implementation Project tahun 2003. Pelayanan terhadap pasien yang akan dirawat hingga pasien pulang, pelayanan yang diberikan itu harus bersifat sebagai berikut:
  • Berbasis kepada pasien yang mengutamakan keselamatan pasien, kualitas dan standar pelayanan klinik
  • Pasien harus turut serta dalam pengambilan keputusan dalam masa perawatan.
  • Pelayanan kedokteran dan perawatan harus berdasarkan evidence base dan update ilmu terbaru.
  • Pelayanan harus berdasarkan sistem yang baik mulai dari direktur, staf, tim audit dan tim medis.
  • Pelayanan rumah sakit dibagi menjadi tiga bagian yang independen. Rawat jalan, gawat darurat dan pemeriksaan medis rutin (medical check up).
1. ADMISI (ADMISSIONS)
Proses admisi di rumah sakit itu bisa bersifat elektif dan gawat darurat tergantung dari kasus yang ditemukan oleh dokter. Admisi yang bersifat elektif biasanya pada pasien yang tidak mengalami sakit yang mendadak dan tidak mengancam nyawa, sedangkan admisi yang bersifat gawat darurat itu bersifat mendadak, mengalami trauma berat, penyakit dalam grade lanjutan dan penyakit yang mengancam nyawa pasien.
Dokter adalah orang yang menentukan apakah pasien perlu dirawat atau tidak. Proses admisi ini sangat penting karena ditakutkan akan terjadi tumpang tindih dan perebutan jenis pelayanan tertentu antara pasien yang berasal dari unit elektif (rawat jalan) dan unit gawat darurat.
Untuk mempermudah proses admisi ini, maka rumah sakit di luar negeri telah membuat suatu unit atau departemen sendiri yang disebut departemen admisi yang tugasnya mengatur alur pasien, mengatur tujuan pengiriman pasien ke ruang bangsal dan menentukan posisi pasien dalam daftar tunggu (waiting list) untuk mendapatkan pelayanan-pelayanan penunjang.
Jika tidak bisa membentuk satu unit atau departemen sendiri maka rumah sakit bisa menunjuk satu orang yang bertugas mengawasi proses admisi ini (Admission Manager) yang memiliki kebijakan dan kewenangan dalam mengatur alur pasien.
i. Sebelum dirawat di rumah sakit (pre admission)
Harus diketahui bersama bahwa proses admisi bukan hanya proses saat pasien tersebut telah tiba di rumah sakit, namun sebelum pasien tersebut datang ke rumah sakit yang biasanya bersifat elektif.
Garis besar penting yang harus diperhatikan dalam proses pre-admission ini adalah:
  • Harus jelas terlebih dahulu apakah pasien itu akan masuk melalui pintu rawat jalan atau gawat darurat. Penjelasan tersebut harus berdasarkan rujukan dan keputusan dari dokter keluarga/ dokter pelayanan primer.
  • Pasien yang baru akan dirawat (pre-admission) masih belum dianggap sebagai pasien rawat inap (outpatient) jika masih ada tatalaksana yang seharusnya masih dilakukan oleh dokter keluarga/ dokter layanan primer yang masih belum dilakukan oleh pasien (misalnya pemeriksaan penunjang radiologi dan laboratorium).
  • Pasien harus diberikan penjelasan mengenai kondisi kesehatannya, rencana terapi dan prosedur yang akan dijalaninya.
ii. Admisi Elektif (electif admissions)
Inti dari pelayanan admisi elektif ini adalah perencanaan. Setiap pasien yang masuk secara elektif (rawat jalan) harus sudah melalui proses pre-admission terlebih dahulu. Proses pre-admission ini harus menjadi prosedur standar untuk semua admisi elektif dalam pelaksanaan pengobatan pasien.
Selain itu pada admisi yang bersifat elektif ini harus ada penjadwalan yang baik, waiting list yang tersentralisasi sehingga memudahkan pasien untuk mengetahui posisi mereka pada saat ini. Bahkan pada proses admisi ini harus sudah bisa merencanakan waktu pasien pulang (discharge) pasien sejak dari hari pertama pasien itu datang ke rumah sakit.
Pasien yang bisa melakukan admisi elektif adalah yang tidak mengalami kegawatdaruratan, misalnya:
  • pasien rujukan dari dokter keluarga/ dokter pelayanan primer
  • pasien yang datang dengan rencana operasi
  • pasien yang masuk berdasarkan hasil konsultasi dan pemeriksaan di poliklinik
iii. Admisi Gawat Darurat (emergency admissions)
Admisi Gawat Darurat didefinisikan sebagai proses masuknya pasien yang tidak direncanakan dikarenakan trauma (cedera) atau penyakit akut yang tidak bisa ditangani sebagai pasien rawat jalan. Prinsip pelayanan melalui ke bagian gawat darurat adalah hanyalah pasien yang mengalami kegawatdaruratan.
Faktor yang penting dalam memasukkan pasien melalui gawat darurat adalah sebagai berikut:
  • adanya proses triase, penilaian kondisi klinis pasien, pemeriksaan radiologi dan patologi klinik yang cepat.
  • dari hasil tersebut dapat dilakukan pendiagnosisan penyakit yang cepat
  • adanya keputusan dari dokter senior saat pengambilan keputusan perawatan.
  • adanya kerjasama antar multidisiplin ilmu.
Menurut Texas Department of Aging and Disability Services tahun 2013 ada tiga tipe admisi rumah sakit.
i. Tipe Expedited Admission:
Ketika individu itu dicurigai mempunyai Penyakit Mental, Disabilitas fisik dan Disabilitas intelektual dan ditemukannya kriteria seperti dalam kondisi stadium terminal, penyakit dalam kondisi berat, delirium, dan koma
ii. Tipe Exempted Hospital Discharge:
Ketika dokter telah bisa menentukan individu yang Penyakit Mental, Disabilitas fisik dan Disabilitas intelektual itu mempunyai waktu perawatan kurang dari 30 hari sejak individu itu dirawat
iii. Pre-admission:
yaitu ketika seseorang itu dicurigai mempunyai Penyakit Mental, Disabilitas fisik dan Disabilitas intelektual tapi tidak termasuk ke dalam dua tipe di atas.
2. OBSERVASI (OBSERVATION)
Saat pasien masuk rumah sakit, tidak serta merta pasien tersebut pasti dirawat, karena tidak semua pasien yang masuk ke rumah sakit baik itu melalui poliklinik maupun gawat darurat itu dirawat. Rumah sakit mengenal istilah observasi. Observasi adalah salah satu cara rumah sakit untuk mengurangi angka pasien yang tidak perlu dirawat (inpatient) namun memerlukan perhatian khusus. Observasi adalah saat ketika dokter masih belum bisa memutuskan apakah pasien tersebut perlu rawat inap atau tidak, karena itu dokter akan mengevaluasi kondisi pasien di ruang observasi.
Menurut Departement Of Health And Human Services Amerika Serikat pada tahun 2013, ada beberapa penyakit yang paling banyak diobservasi di rumah sakit, penyakit itu diantaranya:
  • Nyeri dada
  • Gangguan saluran pencernaan
  • Pingsan
  • Gangguan gizi
  • Denyut jantung tidak teratur
  • Gangguan peredaran darah
  • Gangguan pernafasan
78% pasien yang diobservasi ini adalah pasien yang berasal dari unit gawat darurat,sementara 9%-nya berasal dari pasien yang baru selesai operasi. Sisanya adalah pasien dengan tindakan ringan, diagnostik maupun terapi; CT-Scan kontras, BNO-IVP, pemeriksaan darah dan bedah minor.
Di Amerika Serikat, adanya ruang observasi ini menjadi isu penting karena biaya pasien yang berada di ruang observasi itu jauh lebih besar dibandingkan biaya pasien di rawat inap biasa. Selain itu, beberapa perusahaan asuransi yang menjamin perawatan pasien, tidak memasukkan perawatan di ruang observasi sebagai salah satu klausul pasien yang dirawat inap (inpatient). Pasien yang berada di ruang observasi masih dianggap outpatient sehingga asuransi tidak akan membayar biaya pengobatan dan perawatan pasien yang masih berstatus outpatient.
Karena itulah, maka diperlukan suatu cara agar tidak terjadi kesalahpahaman apakah pasien tersebut cukup diobservasi atau perlu dirawat inap dikembangkan instrumen yang disebut Appropriateness Evaluation Protocol (AEP). AEP dikembangkan pada tahun 1981 oleh Gertman dan Restuccia disusun berdasarkan tiga kriteria tertentu yang jika salah satunya terpenuhi maka pasien perlu dirawat inap. Kriteria itu dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu pelayanan medis, pelayanan keperawatan dan bantuan hidup, serta faktor kondisi pasien.(Vijay Aruldas, 1999)
3. DISCHARGE PLANNING
Selesainya pasien dari proses perawatan bukanlah suatu proses biasa. Proses ini memerlukan pengaturan dan pelajaran sendiri. Rumah sakit harus mempunyai kebijakan operasional tersendiri dan dalam hal memulangkan pasien (discharge) dan di dalam standar prosedurnya harus bisa menjaga segi kepuasan dan kualitas perawatan pasien.
Kunci utama dalam proses discharge ini adalah:
  • Adanya transfer ilmu dari perawat ke keluarga atau orang yang akan merawat pasien di rumah.
  • Adanya keterlibatan dan partisipasi aktif dari anggota keluarga yang merawat selama proses perawatan pasien di rumah sakit.
  • Menjadikan anggota keluarga sebagai mitra dan ikut bekerjasama di dalam tim perawatan dalam proses discharge.
  • Perencanaan pasien pulang (discharge planning) itu sudah dimulai bahkan sebelum pasien tersebut dirawat inap.
  • Jika selama perawatan ditemui penyakit yang lebih kompleks dan dibutuhkan perawatan tambahan, maka dokter harus memberikan perkiraan waktu pulang kepada pasien dan mendiskusikan hal tersebut kepada pasien dan keluarga pasien.
  • Rumah Sakit harus waspada untuk setiap variasi keluhan pasien yang dapat memperpanjang LOS.
  • Edukasi mengenai obat-obatan pulang, interaksi yang mungkin terjadi dan efek samping obat yang paling sering muncul setelah pasien pulang.
II. KONDISI NYATA DI RUMAH SAKIT
Pola pelayanan kesehatan yang diberikan berbasis rumah sakit dan belum berbasis pasien dan masih berjalan secara konvensional. Keputusan untuk merawat pasien ditentukan sepenuhnya oleh dokter. Pasien tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Pelayanan yang diberikan hanya terdiri dari dua jenis saja yaitu rawat jalan dan gawat darurat.
1. ADMISI (ADMISSIONS)
Proses admisi rumah sakit hanya dianggap proses biasa, tidak ada departemen adsmisi ataupun dokter penanggung jawab yang berfungsi sebagai Manager Admisi. Belum ada prosedur khusus mengenai proses preadmisi. Bahkan pasien yang akan dirawat dan seharusnya masuk ke dalam rawat inap elektif malah masuk melalui pintu gawat darurat.
Pasien yang akan dirawat langsung dianggap sebagai pasien rawat inap walaupun pemeriksaan penunjang dan rujukan dari dokter keluarga/ dokter layanan primer belum lengkap. Belum jelasnya rantai rujukan tersebut membuat hubungan antara rumah sakit dan dokter layanan primer terputus. Pada saat preadmisi ini juga pasien juga tidak mendapatkan penjelasan apapun mengenai kondisi kesehatannya rencana terapi dan prosedur yang akan dijalaninya.
Pada pasien yang masuk melalui unit gawat darurat biasanya akan dilakukan pemeriksaan singkat mengenai kondisi pasien. Keputusan untuk merawat atau tidak merawat pasien berada pada dokter unit gawat darurat. Dokter akan menilai kondisi klinis pasien dan melakukan pemeriksaan radiologi dan patologi klinik jika diperlukan.
Dasar penilaian perlu tidaknya dirawat berdasarkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Belum ada protokol khusus atau checklist yang mengatur apakah pasien ini perlu dirawat inap atau cukup diobservasi. Keputusan yang diambil dokter ini berdasarkan data-data dasar anamnesis yang meliputi:
· Sumber Informasi
· Keluhan Utama
· Riwayat Penyakit Sekarang
· Riwayat Penyakit Dahulu
· Riwayat Pekerjaan dan Lingkungan
· Informasi Biografis
· Riwayat Keluarga
· Riwayat Psikososial
2. OBSERVASI (OBSERVATION)
Seperti halnya dalam memutuskan untuk merawat pasien, saat ini rumah sakit belum punya protokol khusus yang menentukan bahwa pasien perlu dimasukkan ke dalam ruang observasi. Dalam hal ini dokter UGD akan meminta pendapat dokter spesialis apakah pasien bisa dirawat inap atau perlu diobservasi terlebih dahulu.
3. DISCHARGE PLANNING
Selesainya pasien dari proses perawatan dianggap proses biasa dengan alur sebagai berikut:
  • Dokter menyatakan bahwa pasien pulang.
  • Perawat membuat resume medis pasien pulang, verifikasi seluruh biaya, dan menyiapkan obat pulang.
  • Perawat memberitahukan jumlah biaya kepada keluarga pasien.
  • Perawat menceritakan resume diagnosis dan perawatan, rencana tindak lanjut, dan memberikan kertas kontrol ulang kepada pasien.
  • Perawat melakukan edukasi obat-obatan kepada pasien dan keluarga pasien, memberi obat pulang .
  • Perawat mengantar pasien hingga ke pintu depan untuk memastikan pasien tetap aman sampai keluar dari rumah sakit.
Pada saat ini, rumah sakit dan perawat hanya melakukan transfer ilmu keperawatan secara terbatas, dalam artian tidak menyediakan waktu khusus dalam rangka melakukan edukasi pasien yang akan pulang. Selain itu, rumah sakit belum melibatkan anggota keluarga sebagai mitra dalam merawat pasien.
III. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN
1. Pembuatan Kebijakan
  • Kebijakan yang diambil dalam strategi pengembangan rumah sakit adalah utnuk menciptakan alur (pathway) perawatan pasien yang yang aman dan dilaksanakan secara konsisten.
  • Objektif dari kebijakan yang akan dibuat adalah untuk membuat standar klinis yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan admisi dan discharge pasien.
  • Kebijakan yang dibuat harus melibatkan semua lini pelayanan dari rumah sakit mulai dari direktur utama, direktur umum, kepala bagian hingga para staf pelaksana.
  • Kebijakan yang diambil harus bisa memastikan bahwa semua kebutuhan pasien terpenuhi secara adil dan merata.
2. Tujuan
  • mencegah admisi yang tidak penting
  • mengurangi angka timbulnya re-admisi
  • meminimalkan adanya kejadian delayed discharge
  • meyakinkan pasien bahwa ia dilayani tepat waktu dan tepat terapi dan sesuai dengan kebutuhan
  • mendukung pengelolaan tempat tidur rumah sakit, hari rawat dan interval penggunaan tempat tidur secara optimal.
  • memastikan pasien dan anggota keluarga lainnya bahwa mereka menerima informasi yang sama dan jelas serta terlibat langsung mulai dari proses admisi sampai proses discharge.
3. Pembuatan Pedoman Pelayanan yang terdiri dari:
  • Ruang lingkup tugas unit pelayanan
  • Tugas tiap unit pelayanan
  • Tanggung jawab tiap unit pelayan
  • Penentuan jenis admisi dan observasi
  • Penetapan kriteria admisi, elektif dan gawat darurat
  • Penetapan kriteria ekslusi admisi
4. Pembuatan standar prosedur operasional yang terdiri dari
  • Prosedur alur proses admisi
  • Prosedur alur pasien yang diobservasi
  • Prosedur alur proses discharge
  • Pembuatan alur tanggung jawab berjenjang
  • Pembuatan alur kerjasama dan koordinasi antar unit yang terkait.
IV. SUMBER REFERENSI
  • Hospital Forum, NHS Confederation, May 2013. The non-executive directors’ guide to hospital data. Part two: Elective hospital admissions, waiting times and patient experience.
  • The Health Board Executive, 2003. Admissions and Discharge Guidelines. Health Strategy Implementation Project.
  • National Audit Office NHS Executive, 2000. Inpatient Admissions and Bed Management in NHS acute hospitals.
  • Vijay Aruldas, 1999. Appropriateness Evaluation Protocol: An Application in a Multi-speciality Hospital
  • Department of Health and Human Service, 2013. Memorandum Report. Hospitals Use of observation Stays and Short Inpatient Stays for Medicare Beneficiaries.
  • Sumber : dokterharry.com

Minggu, 13 Agustus 2017

WITHHOLDING TAX

Withholding Tax

PAJAK YAYASAN

Pajak Yayasan

Pengertian Subyek Pajak, Objek Pajak, dan Kewajiban Pajak


Subjek Pajak adalah pihak-pihak yang  dikenai kewajiban untuk melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya. Dapat meliputi orang pribadi maupun badan (perusahaan).

 Subjek Pajak Dalam Negeri
Istilah Subjek Pajak dalam negeri akan sering ditemukan dalam konteks PPh.  Subjek pajak dalam negeri meliputi orang pribadi (individu) maupun badan.  Pengertian ‘badan’ dalam UU KUP adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan satu kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak, yang meliputi PT, CV, perseroan lainnya, BUMN/D dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap (BUT/permanent establishment).
Orang pribadi (individu) yang disebut sebagai subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang: (1) bertempat tinggal di Indonesia, atau (2) berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; atau (3) yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia.  Manakala orang pribadi meninggal dunia dan meninggalkan warisan, maka sebelum warisan itu terbagi, kedudukan subjek pajak si almarhum digantikan oleh warisan yang belum terbagi tersebut.  Itulah sebabnya, warisan yang belum terbagi juga dikategorikan sebagai subjek pajak dalam negeri menggantikan yang berhak (menggantikan si almarhum).
Sementara badan yang tergolong subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.  Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi keempat kriteria berikut ini tidak termasuk dalam pengertian subjek pajak badan dalam negeri:
1.        Pembentukannya berdasarkanketentuan peraturan perundang-undangan
2.        Pembiayaannya bersumber dari APBN/D;
3.        Penerimaanya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah (pusat maupun daerah); dan
4.        Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

Subjek Pajak Luar Negeri
ISTILAH subjek pajak luar negeri juga akan lebih sering ditemukan dalam pembahasan PPh.  Dan sama seperti subjek pajak dalam negeri, subjek pajak luar negeri juga terdiri dari orang pribadi (individu) dan badan. Subjek pajak orang pribadi luar negeri adalah orang pribadi yang:
1.        tidak bertempat tinggal di Indonesia; dan
2.        berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.

Sedangkan badan yang termasuk kelompok subjek pajak badan luar negeri adalah badan yang tidak didirikan di Indonesia dan tidak berkedudukan di Indonesia.
Subjek pajak luar negeri (baik orang pribadi maupun badan) dapat memperoleh penghasilan dari Indonesia dengan cara: (1) menjalankan usaha atau melakukan kegiatan bisnis melalui BUT (permanent establishment); atau (2) tidak melalui BUT (biasanya penghasilan yang bersifat pasive income seperti bunga, dividen, royalti maupun sewa).
Jika subjek pajak luar negeri memperoleh penghasilan dengan cara pertama, maka BUT dari subjek pajak luar negeri tersebut tergolong subjek pajak luar negeri.  Namun dalam perlakuan pajaknya, BUT dipersamakan dengan subjek pajak badan dalam negeri dan memiliki kewajiban pajak yang sama dengan subjek pajak dalam negeri (kewajiban NPWP, SPT dan lain sebagainya).


Kewajiban Pajak Subjektif
Pajak Penghasilan adalah jenis pajak subjektif di mana pengenaan pajaknya lebih melihat subjeknya dulu daripada objeknya. Coba kita tengok Pasal 1 UU Pajak Penghasilan, yang menyatakan bahwa “Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak”.Penekanannya yang pertama adalah subyek pajak, baru kemudian obyeknya yaitu penghasilan. Urutan pasal-pasal dalam UU Pajak Penghasilan juga menunjukkan bahwa Pajak Penghasilan adalah pajak subjektif. Ketentuan mengenai subyek pajak diatur lebih dulu di Pasal 2, 2A dan Pasal 3. Baru kemudian diatur mengenai objeknya di Pasal 4.
Sehubungan dengan subyek pajak ini, dalam Pajak Penghasilan dikenal istilahKewajiban Pajak Subjektif. Istilah ini mengandung arti bahwa seseorang, sesuatu atau badan sudah memenuhi syarat untuk dikenakan Pajak Penghasilan dilihat dari sudut subyeknya. Apabila subyek pajak ini menerima atau memperoleh penghasilan, maka ia dapat dikenakan Pajak Penghasilan. Tetapi sebaliknya, apabila sesuatu, seseorang atau badan tidak memenuhi syarat kewajiban pajak subjektif, maka walaupun ia memiliki penghasilan, ia tidak dapat dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan UU Pajak Penghasilan.Jadi, kewajiban pajak subjektif ini sangat penting maknanya dalam Pajak Penghasilan karena merupakan entry point dalam pengenaan Pajak Penghasilan. Dengan demikian, kapan seseorang, sesuatu atau badan mulai memenuhi syarat kewajiban pajak subjektif adalah sangat penting dalam Pajak Penghasilan. Begitu juga dengan berakhirnya kewajiban pajak subjektif. 
Mulai dan Akhir Kewajiban Pajak Subjektif 
Undang-undang Pajak Penghasilan memberikan tempat di Pasal 2A yang khusus mengatur kapan mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif. Selengkapnya, saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif ini adalah sebagai berikut : 

Untuk subjek pajak orang pribadi dalam negeri :
Dimulai:   pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Berakhir: pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. 
Untuk subjek pajak badan dalam negeri :
Dimulai: pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Berakhir: pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia. 
Untuk subjek pajak luar negeri berupa BUT :
Dimulai:   pada saat orang pribadi atau badan menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) UU PPh.
Berakhir:  pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap. 
Untuk subjek pajak luar negeri non BUT :
Dimulai:   pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Berakhir: pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut. 
Kewajiban Pajak Subjektif dan PTKP 
Pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan secara periodik setiap tahun. Jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan ini dinamakan tahun pajak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 UU PPh. Tahun pajak ini pada umumnya adalah tahun takwim mulai dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Jika kewajiban pajak subjektif bermula atau berakhir di pertengahan akhir pajak, maka pengenaan pajak ini tidak utuh dalam satu tahun pajak tetapi dalam bagian tahun pajak. Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri, pengenaan Pajak Penghasilan dalam bagian tahun pajak ini tidak menimbulkan masalah dalam perhitungan pajaknya. Namun tidak demikian dengan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri karena ada unsur Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Hak untuk mendapatkan PTKP dikaitkan dengan kewajiban pajak subjektif. Jika seseorang kewajiban pajak subjektifnya meliputi satu tahun penuh, maka PTKP nya pun satu tahun penuh. Apabila, kewajiban pajak subjektifnya misalnya cuma dua bulan, maka ia berhak atas PTKP dua bulan. Dari konsep ini lahir istilah PPh terutang disetahunkan dalam perhitungan PPh Pasal 21 dalam kasus orang luar negeri yang baru berada di Indonesia pada pertengahan tahun atau orang yang meninggalkan Indonesia selama-lamanya pada pertengahan tahun. Begitu juga dalam kasus orang yang meninggal dunia.

Objek Pajak Penghasilan
Objek pajak penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yng diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari indonesia maupun dari luar indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Tidak Termasuk  Objek  Pajak
1.        Bantuan atau sumbangan
2.        Warisan
3.        Deviden atau bagian laba
4.        Iuran yang diterima atu diperoleh dana pensiun
5.        Beasiswa
Tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 adalah :
a.         Badan perwakilan negara asing
b.        Penjabat-penjabat perwakilan diplomatik
c.         Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan
d.        Penjabat-penjbat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Yang Menjadi Objek Pajak bentuk usaha tetap adalah :
a.      Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai
b.   Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberiaan jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia
c.      Penghasilan sebagaimana tersebt dalam psal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat.
                                     

Rabu, 09 Agustus 2017

Perbedaan antara Biaya dan Cost

Perbedaan antara Biaya (cost) dan Beban (expense)

Tahukah anda perbedaan biaya dan beban ?  Biaya (cost) dan beban (expense) adalah dua hal yang berbeda karakteristiknya, untuk lebih memahami ini mari kita simak analisa penjelasan berikut menurut pakarnya  :

  • Biaya ;
Mulyadi (2000 : 8-10), Mengemukan bahwa definisi biaya dibagi atas dua yaitu biaya dalam arti sempit dan biaya dalam arti luas. Dalam arti luas biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan uang yang telah terjadi dan kemungkinan akan terjadi (belum terjadi) untuk tujuan tertentu. Sedangkan pengertian biaya dalam arti sempit adalah sebagai pengorbanan sumber ekonomi untuk memperoleh aktiva.

Dari definisi biaya tersebut terdapat empat unsur pokok yaitu :
1. Biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomi
2. Diukur dalam satuan uang
3. Yang telah terjadi atau secara potensial akan terjadi
4. Pengorbanan tersebut untuk tujuan tertentu.

  • Beban ; 
menurut Standar Akutansi Keuangan (1999 : 12), Beban (expence) adalah penurunan manfaat ekonomi selama satu periode akuntasi dalam bentuk arus kas keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban mengakibatkan penurunan ekiutas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanaman modal. kesimpulannya, beban merupakan pengorbanan yang telah terjadi.

Letak di Laporan Keuangan :
  • Biaya, di neraca (Belum terpakai, biaya-biaya yang dianggap akan memberi manfaat dimasa yang akan datang, berupa aktiva) Misal : Sewa Dibayar Dimuka
  • Beban, di laporan laba-rugi (Pengeluaran/Biaya yang telah terpakai dan tidak dapat memberikan manfaat lagi dimasa yang akan datang) Misal : Beban Sewa

Periode Akuntansi :
  • Biaya periodenya lebih dari satu tahun, merupakan pengeluaran modal (capital expenditure)  
  • Beban periodenya kurang dari satu tahun, merupakan pengeluaran pendapatan(revenue expenditure) 

Jumlah Rupiah Yang Dikeluarkan :
  • Biaya, Jumlah rupiah yang dikeluarkan dalam jumlah yang besar.
  • Beban, Jumlah rupiah yang dikeluarkan relatif kecil.

Disimpulkan ;

Biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan uang yang telah terjadi dan kemungkinan akan terjadi, sedangkan beban penurunan manfaat ekonomi selama satu periode akuntasi yang telah terjadi.


Daftar Pustaka

  1. Mulyadi2000, Akuntansi Biaya Edisi 5, Aditya Media, Yogyakarta.
  2. Ikatan Akuntan Indonesia, 1999Standar Akuntansi Keuangan, Salemba Jakarta.
  3. Shvoong, 10 oktober 2010, Defenisi Biaya Menurut Para Ahlihttp://id.shvoong.com/writing-and-speaking/public-speaking/2061447-defenisi-biaya-menurut-para-ahli/ , diakses pada 15 Desember 2013.

Cari Blog Ini

PERHITUNGAN PPh 21, GROSS, NET, GROSS-UP & NON-GROSS-UP

Dalam praktek perhitungan PPH 21 perusahaan menggunakan berbagai macam metoda ada gross, net, gross-up, non gross-up. Mengapa terjadi demik...